Temukan Kelebihan - Yusuf Mansur

Fokus terhadap kekurangan, akan menyebabkan kehidupan kita menjadi begitu sempit dan menyebalkan.

Midun terlahir dalam keluarga pas-pasan. Berbeda dengan pemuda lain di Kampung Ketapang, yang ‘dibekali’ asesoris kehidupan oleh orang tuanya, Midun tidak. Sementara yang lain menunggang motor anyar untuk dolanan, Midun tidak. Sementara yang lain bisa kursus ini kursus itu, Midun harus cukup puas dengan hanya bersekolah tok.

Mata Midun benar-benar tertuju pada kekurangan dirinya, bukan pada kelebihan yang dia miliki. Akhirnya ya memang hanya kekurangan yang terlihat. Jauh dari rasa puas, jauh dari rasa syukur. Dan kenikmatan hidup pun ikut menjauh.

Perasaan selalu kurang, juga akhirnya menyebabkan Midun memandang kehidupan ini tidak berpihak kepadanya. Midun lebih banyak stress, lebih banyak malu, lebih banyak rendah diri dan gampang menjadi orang-orang yang kalah.

Midun bisa terhindar dari perasaan rendah diri, stress dan malu, apabila Midun berhati lapang. Dalam artian bisa menerima kekurangan hidupnya sebagai apa adanya. Tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi kemudian dijadikan penghalang langkahnya untuk maju meraih kehidupan.

Midun juga bisa mengubah posisinya dari orang-orang yang kalah hingga menjadi pemenang. Caranya adalah berhenti menjadi manusia pengeluh, berhenti melihat kekurangan dan mulai menggali potensi kelebihan yang ada pada dirinya.

Yakinlah, ketika Allah menciptakan manusia, Dia juga menyertai manusia dengan segenap kelebihan. Maka temukanlah kelebihan yang sudah dianugerahkan Allah. Niscaya kehidupannya pasti lebih baik.

Pembaca, dalam keseharian, boleh jadi kita pun bertingkah seperti Midun. Di tengah limpahan karunia-Nya, mata kita justru tidak bisa memandang karunia yang telah diberikan-Nya. Lantaran apa? Lantaran mata kita terfokus pada kekurangan.

Kita tidak bisa memandang nikmatnya makan dengan nasi plus tempe, lantaran kita membayangkan secara berlebihan nikmatnya makan di restoran.

Kita tidak bisa memandang nikmatnya tidur di rumah kontrakan, lantaran kita melihat berlebihan terhadap mereka yang tidurnya di rumah sendiri. Itupun bagi yang rumahnya kecil, tidak mampu memandangnya sebagai sebuah kenikmatan, karena tertutup pandangan enaknya berumah besar.

Gaji kecil, selalu dianggap kurang, karena kita tidak mampu membeli sesuatu yang berlebih, sesuatu yang kita anggap mudah dilakukan oleh mereka yang bergaji besar. Dan seterusnya. Nampaknya kita harus belajar menerima, belajar bersyukur. Supaya apa yang ada di sekitar kita, supaya apa yang ada pada diri kita, bisa kita nikmati.

Luqman pernah dibisiki satu nasihat menyejukkan dari Cang Haji Muhidin, sesepuh Kampung Ketapang. Kata beliau, mau lebih? Gampang. Nikmati aja dulu apa yang ada!

Cang Haji benar. Mendapatkan sesuatu saja sudah merupakan nikmat. Ditambah lagi dengan rasa menikmati apa yang seharusnya memang menjadi nikmat tersebut. Tentu ia menjadi nikmat tambahan. Tidakkah ini berarti kita pun mendapatkan lebih?

Pepatah lama mengatakan, jangan banyak melihat ke atas. Sering-seringlah melihat ke bawah. Maksudnya, jangan kelewatan melihat mereka yang sedang dialiri nikmat yang kebetulan secara fisik memang lebih dari kita. Sebab bisa timbul kekecewaaan dalam diri kita dan akhirnya mempengaruhi kinerja pikir dan hati. Sebaliknya, dengan memandang mereka yang lebih kurang dari kita, secara sosial, ekonomi maupun dari segi lainnya, kita menjadi mudah bersyukur.

Sebagai penutup, bila kita kemudian menemukan kekurangan dalam kehidupan, yakinlah, Allah Yang Maha Sempurna akan memenuhi apa yang kurang tersebut. Syaratnya adalah dengan banyak bersyukur.

Wassalam.

Loading...

    Loading...