Radar Lampung (Jawa Pos Group) melanjutkan penelusurannya terhadap orang-orang yang berkecimpung di Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Keterangan dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung Utara, Mughofir dikembangkan. Ditemukanlah salah seorang aktivis Gafatar berinisial Ha. Ha mengaku sehari-hari berprofesi sebagai dosen swasta di Bandarlampung. Dia tak menampik, banyak anggapan miring terhadap organisasinya ini.
’’Dikatakan sesat dan gila itu bagi Gafatar adalah anugerah,” kata Ha kepada Radar Lampung via pesan singkat.
Dia pun menyatakan memang banyak dalam organisasinya yang dianggap bertentangan. Salah satunya, salat adalah ritual.
’’Kalau saya nggak ritual lagi. Makanya dibilang sesat. Tetapi, saya punya keyakinan dan dasar-dasar yang kuat kalau salat itu (hanya) ritual,” tulisnya.
Dalam perbincangan terakhir, sempat menanyakan sekretariat Gafatar Lampung. Ha menyatakan kantornya ada di Jl. Pangeran Emir M. Noer No. 29, Bandarlampung. Radar Lampung kemudian berupaya mendatangi lokasi itu. Namun, meski sudah bolak-balik, alamat dengan nomor rumah sebagaimana dimaksud tidak ada. Dihubungi kembali, Ha tak mengangkat telepon dan menjawab pesan singkat yang dikirim.
Sementara itu, data yang diperoleh Radar Lampung dari Kementerian Agama (Kemenag) Lampung, Gafatar sempat tersandung masalah, persisnya pada 27 Agustus 2014 di Pubian, Lampung Tengah.
Pimpinan Gafatar Lamteng yakni Firman Sadiyo mendoktrin komunitasnya menjalankan ritual Islam.
Namun, ia tidak mewajibkan salat, zakat, dan puasa sampai 2022. Kenapa 2022? Firman dan pengikutnya meyakini pada saat itu akan datang Ratu Adil yang bakal meluruskan seluruh persoalan di bumi ini.
Karena itulah, MUI Lamteng kemudian mengajak Firman berdialog dan pada akhirnya berhasil mengajaknya kembali ke Islam. Kasus ditutup dengan pernyataan tobat Firman dan pengikutnya.
Loading...