Silahkan Share - Suatu hari di bulan Ramadhan, Gus Dur diundang mantan presiden Suharto ke kediamannya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat untuk berbuka puasa bersama. Waktu itu Gus Dur hadir dengan ditemani Kiai Asrowi.
Setelah buka, kemudian shalat maghrib berjamaah. Dilanjut minum kopi, teh, dan makan dengan menu yang cukup wah. Ditengah santapan itu, terjadi dialog antara Suharto dan Gus Dur.
”Gus Dur sampai malam di sini?” tanya Pak Harto.
”Owh...Enggak pak! Saya harus segera pergi ke tempat lain,” jawab Gus Dur.
”Oh, iya ya ya….silaken. Tapi kiainya kan ditinggal di sini, ya?” pinta Pak Harto sambil mesem ke Kiai Asrowi.
”Oh, Iya Pak ! Beliau akan tetep di sini. Tapi sebelumnya harus ada penjelasan,” kata Gus Dur.
”Penjelasan apa?” tanya Pak Harto penasaran.
”Shalat tarawihnya nanti itu ngikutin NU Lama atau NU Baru?“
Mendengar ucapan Gus Dur, Pak Harto jadi bingung. Sebab baru kali ini ia mendengar ada NU Lama dan NU Baru. Kemudian dia bertanya,”Lho, NU Lama dengan NU Baru apa bedanya?“
Dengan pelan Gus Dur menjelaskan, ”Kalau NU lama, tarawih dan Witirnya itu 23 rakaat,”
” Oh Iya..ya..ya..ya….gak apa-apa……” kata Pak Harto sambil mantuk-mantuk.
Gus Dur sementara diam tak lagi bicara. Sejurus kemudian Pak Harto bertanya lagi, ”Lha, kalau NU Baru bagaimana?”
” Kalau NU Baru diskon 60 persen,” jawab Gus Dur.
Hahahahahahahahahahahahahha………
Gus Dur, Pak Harto dan semua orang yang ada disekitarnya langsung tertawa terbahak-bahak.
”Ya. Jadi shalat Tarawih dan Witirnya cuman tinggal 11 rakaah,” kata Gus Dur.
”Ya sudah kalau begitu, saya ikut NU baru saja, pinggang saya sakit,” kata Pak Harto sambil memegangi pinggangnya.
Zunus
*Cerita dari berbagai sumber (NU.or.id) di lansir dari www.suaranetizen.com
Loading...