Royke Montolalu, warga Matani II, Kecamatan Tomohon Selatan, Tomohon, Sulawesi Selatan, kini bisa bernapas lega setelah lolos dari aksi penyanderaan kelompok Abu Sayyaf. Awak kapal TB Henry yang bertugas di bagian mesin itu itu sudah bisa tersenyum setelah bertemu kembali dengan keluarganya.
Meski begitu, ingatan ayah dua anak itu masih lekat dengan aksi penyanderaan yang dialaminya pada Sabtu, 15 April 2016. Kapal yang diawakinya saat itu sedang berlayar dari Filipina menuju Tarakan, Kalimantan Utara. Laju kapal tiba-tiba dihentikan sekelompok orang yang menggunakan kapal kecil seperti sekoci.
"Kami semua ada 10 orang. Yang kami dengar mereka hanya mengatakan berhenti dan turun," ujar Royke, Senin, 25 April 2016.
Instingnya otomatis bekerja. Ia langsung berlari ke ruang kapten untuk bersembunyi. "Tapi sebagian di antara mereka berhasil mendapati saya dan menyuruh keluar," tutur Royke.
Ia tak berkutik mendengar perintah itu. Ia keluar dan bergabung dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu dikumpulkan di bagian belakang kapal. Saat itu, matanya menangkap sosok penyandera yang berjarak hanya dua meter dari tempatnya berdiri.
"Anggota kelompok Abu Sayyaf itu menggunakan baju tentara dan membawa senjata laras panjang," ujar Royke.
Menurut Royke, salah seorang anggota Abu Sayyaf itu adalah pemuda yang berusia kira-kira 30 tahunan. Ia berbadan pendek dan berkulit bersih. Tatapan Royke beralih ke lantai karena penyandera menyuruhnya berjongkok.
Saat berjongkok itu, ia kerap mendengar senjata menyalak. Beberapa saat kemudian, kelompok itu meninggalkan kapal TB Henry. Mereka pergi dengan membawa serta empat orang temannya, termasuk sang kapten kapal.
"Mungkin karena kapal mereka kecil, takut bermuatan lebih, hanya membawa empat orang termasuk kapten," ujar Royke berpendapat.
Setelah kelompok Abu Sayyaf menjauhi kapal TB Henry, kata Royke, kapal tanpa juru mudi, sehingga mengapung tanpa arah. Para awak yang tersisa baru berani mengendalikan kapal setelah memastikan kapal kelompok Abu Sayyaf menghilang dari pandangan.
Royke menemukan Ucok, petugas oiler kapal, tertembak di dada dan membutuhkan pertolongan segera. Saat itu, ia juga mendengar ada panggilan radio dari militer Malaysia masuk ke kapal TB Henry.
"Itu terlihat di radar TB Henry kemudian dikontak oleh kapal Malaysia tersebut," ia menjelaskan.
Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang langsung menjawab panggilan radio tersebut. Setelah yakin jika panggilan itu benar dari militer Malaysia, mereka baru berani merespons. Tak lama, kapal pertama Angkutan Laut Malaysia muncul.
Kapal bantuan itu tidak langsung merapat. Menurut Royke, aparat sengaja berbuat begitu untuk memantau kondisi kapal TB Henry untuk memastikan situasi penyanderaan.
"Kami minta pertolongan karena teman kami tertembak. Mereka bantu. Kami juga minta TB Henry dikawal karena masih khawatir kelompok Abu Sayyaf kembali lagi," jelas Royke.
Namun, ternyata kelompok teroris tersebut tak kembali lagi. "Saya pun selamat dari penyanderaan tersebut," ucap dia.
Royke mengaku penyandera itu memang tidak banyak berkata-kata. Mereka hanya menggunakan bahasa isyarat untuk menyuruh para awak kapal mengikuti perintah mereka. Tapi, sejumlah identitas yang digunakan membuat Royke yakin jika penyandera itu berasal dari kelompok Abu Sayyaf.
Saat ditanya apakah sudah trauma dengan kejadian tersebut, ternyata ayah dua anak ini tak merasa takut sedikitpun. "Ah tidak, saya tetap akan bekerja sebagai ABK kapal. Cuma saat ini perusahaan tempat saya bekerja memberikan kesempatan saya beristirahat," kata Royke.
@regional.liputan6.com
Loading...