Karena keterbatasan ekonomi, laki-laki ini menempatkan ibu bersama dengan istrinya dalam satu rumah. Seiring berjalannya waktu, ada konflik yang terjadi antara ibu dengan istrinya. Sayangnya, si laki-laki tidak bisa bersikap adil. Ia termakan informasi dari salah satu pihak, kemudian langsung menyalahkan pihak lain. Tanpa konfirmasi terlebih dahulu.
“Saat kamu kerja, ibu selalu pergi ke tetangga. Ibu tidak mau membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Aku mengerjakannya sendirian. Semuanya.” adu si istri.
“Ibu kenapa gak mau membantu istriku? Mengapa ibu malah sibuk bermain di rumah tetangga?” gugat si laki-laki kepada ibu kandungnya.
Si ibu sudah berusaha menjelaskan. Tapi si anak sudah terlanjur termakan kejelekan yang diembuskan oleh istrinya. “Saat siang, aku tidak diizinkan hanya di rumah oleh istrimu. Aku berkunjung ke rumah tetangga setelah selesai melakukan pekerjaan rumah.” bela si ibu.
“Ah! Ibu hanya beralasan.” sungut si anak. Tidak percaya.
Kondisi rumah itu kian tidak nyaman. Si istri tetap tidak bisa berdamai dengan ibu mertuanya. Si anak yang bertindak sebagai suami sekaligus anak laki-laki si ibu juga tidak bisa bersikap adil. Hingga terjadilah konflik yang sangat dahsyat di malam itu.
“Ibu, pergilah dari rumah ini! Kami sudah tidak bisa menampung ibu. Mau pergi ke mana saja, terserah ibu.”
“Tapi malam-malam begini? Ibu harus pergi ke mana?” tanya si ibu. Memelas.
“Terserah! Yang penting ibu pergi.”
Wanita berhati lembut itu pun pergi. Tidak semua barang dia bawa. Karena berat dan tidak tahu tujuan langkahnya. Si ibu menelusuri malam bersama gulita dan cekam kepedihan nan mendalam. Anak yang telah dikandung, dilahirkan, dan dirawat hingga dewasa itu berani menelantarkannya, tanpa ampun.
Di tengah nyenyaknya tidur si anak bersama kehangatan dengan istrinya, si ibu menangis pedih. Lantaran habis kesabaran, ia pun meminta agar anaknya diberi pelajaran.
Pagi harinya, si laki-laki merasakan pegal di sekujur badannya. Ia tidak pergi ke kantor. Hanya tergeletak di kamar tidur. Lama-kelamaan, ada luka bernanah di badannya. Makin banyak. Makin besar. Makin menyiksa.
Laki-laki ini mengetahui bahwa sakitnya lantaran durhaka. Ia pun meminta orang dekatnya mencari ibunya, untuk meminta maaf.
Malangnya, si ibu tidak mau. Pesuruh laki-laki itu pulang dengan tangan hampa.
Sakit si laki-laki semakin akut. Ia meninggal dunia.
Saat dikuburkan, jenazahnya salah dimasukkan karena hari itu ada dua orang yang meninggal dunia.
Pihak yang liang lahadnya dimasuki oleh jenazah laki-laki ini tidak terima. Mayat itu harus diambil dan dipindahkan. Pasalnya, liang lahad itu dekat dengan keluarga besarnya. Agar satu keluarga terkumpul dalam satu lokasi yang berdekatan.
Setelah makam dibongkar, seluruh hadirin terbelalak. Kondisi jenazah menjadi kecil. Berbeda dengan ukuran saat dimasukkan. saat kain kafannya dibuka, jenazahnya sudah menjadi hitam. Gosong. Seperti bekas dibakar. Nau’udzubillahi min dzalik.
Wallahu a’lam.
(Sumber Tarbawia)
Loading...