Kisah Suharto, Peraih Emas SEA Games yang Kini Hanya Kayuh Becak


MASA TUA SURAM: Suharto menunjukkan album foto saat dirinya masih aktif dan sebagian medali yang diraihnya. (MONICA GRACIA/JAWA POS)

Kejayaan di masa lalu tidak cukup mengangkat harkat hidup Suharto. Di masa tuanya, dia harus berjuang menghidupi keluarganya sebagai tukang becak. Di tengah kesusahan itu, penyakit hernia menambah deritanya.

SUARA azan Asar terdengar dari bilik sebuah kamar kos. Ruangan satu dengan lainnya hanya dibatasi sebuah kelambu usang berwarna abu-abu sebagai pintu. Di ruangan berukuran 3x3 meter itu, Suharto hidup bersama istri dan anak bungsunya.

Perawakan Suharto tidak gagah lagi. Banyak kerutan yang menghiasi wajah lelaki berusia 65 tahun itu. Kerutan-kerutan tersebut merupakan saksi perjuangan hidupnya setelah gemerlap sebagai pahlawan olahraga Indonesia di arena SEA Games 1979 di Indonesia.

Sejak berusia 25 tahun, dia memperkuat tim nasional balap sepeda Indonesia. Puncaknya, dia mempersembahkan emas untuk Merah Putih pada SEA Games 1979. ’’Waktu itu saya masih ingat betul, saya ikut SEA Games setelah saya pulang dari Jerman karena disekolahkan olahraga oleh negara,’’ katanya diakhiri senyum yang ramah.

Sambil menerawang, Suharto berusaha mengingat kebanggaannya membawa pulang emas untuk Indonesia. Pada saat itu, pemerintah tidak memberikan sepeser pun bonus untuk dia sebagai apresiasi menjadi salah seorang pahlawan olahraga Indonesia. ’’Waktu itu targetnya perunggu, tapi dapat emas pada nomor team time trial (TTT) 100 km mengalahkan Thailand,’’ tutur Suharto penuh kebanggaan.

Secara singkat, dia mengenang kemenangannya bersama rekan-rekan di nomor TTT. ’’Catatan waktu kami jauh di belakang Thailand, selisihnya enam menit. Sepuluh menit kemudian, kami sudah melampaui catatan waktu mereka karena saking semangatnya saya,’’ cerita Suharto.

Sambil bercerita kepada Jawa Pos di kamar kosnya di Jalan Kebon Dalem VII No 64, Suharto sesekali memegang perutnya dan sesekali berhenti bercerita karena menahan rasa sakit. ’’Sudah lima tahun begini (sakit hernia). Tahun 2012 sempat dioperasi yang sebelah kiri saja. Hernia yang saya idap kedua-duanya. Sempat sembuh, tapi sekarang membesar lagi,’’ katanya tiba-tiba dengan sedikit lemas menahan sakit. Suhu badan Suharto tiba-tiba berubah dingin.

’’Seperti yang saya bilang, kalau nggak pakai sabuk, semakin sakit yang saya rasa. Mampunya hanya punya ini,’’ ujar Suharto sambil menunjukkan sabuk yang menjadi media penahan rasa sakitnya.

Sabuk itu terbuat dari karet ban dalam becak. Dia meletakkan dua kayu di area kemaluannya, lalu kayu tersebut dililit ban dengan kencang. Itu berfungsi untuk menyangga hernianya. Bagi dia, itu cukup menahan rasa sakit, meski dalam pertemuan sekitar satu jam dirinya beberapa kali meringis kesakitan.

Pria yang juga merupakan pemecah dua rekor pada ajang PON 1977 di nomor individual time trial (ITT) dan team pursuit itu mengungkapkan tidak sanggup membeli sabuk untuk meringankan sakit. Jangankan membeli sabuk, sudah lima tahun Suharto tidak mengonsumsi obat agar penyakitnya cepat pulih karena keterbatasan ekonomi.

’’Dulu di SEA Games hanya diberi uang saku 10 dolar. Pulang dapat emas, dari negara nggak dapat apa-apa,’’ kata Suharto.

Dia menjadi tukang becak sejak sekitar 20 tahun lalu. Pendapatan harian Suharto saat ini juga hanya cukup untuk makan bertiga. Sehari-hari penghasilannya tidak menentu antara Rp 30–50 ribu. ’’Istri saya penjual martabak mi seribuan. Becaknya juga bukan punya saya. Sehari menyewa Rp 5.000,’’ ujar Suharto. Sebagaimana dikutip jawapos.

Beban hidup mereka makin berat karena anak bungsunya, Nano Sadewa, 25, mengalami keterbelakangan mental sejak lahir. Nano tak pernah sekolah dan tak bisa bicara. ’’Kedua kakaknya sudah bekerja. Yang pertama di pabrik, yang kedua menjaga warung kopi giras,’’ katanya.

Secercah harapan sempat menghibur Suharto. Sebab, pada Desember 2016 lalu, lurah dan camat Simokerto berjanji mengatasi biaya pengobatannya. Tapi, hingga kini dia belum sedikit pun merasakan realisasi janji itu.

’’Nggak tau kapan realisasinya. Saya juga kepikiran anak istri saya. Saat pemulihan besok, jika saya operasi, saya tidak boleh bekerja selama dua bulan. Terus bagaimana makannya mereka. Saya berpikir ulang untuk operasi. Kasihan mereka. Saya harus tetap bekerja,’’ ujarnya lirih.

Suharto mengaku pernah minta bantuan kepada Pemkot Surabaya untuk memberikan modal agar dirinya bisa membuka usaha yang layak. Lagi-lagi, hingga saat ini belum ada kejelasan.

’’Banyak juga medali saya yang hilang karena dicuri karena dipikir emas betulan. Padahal kan hanya lapisan. Ya, namanya orang mungkin penasaran ingin punya, tapi nggak apa-apa saya sudah ikhlas,’’ ujar Suharto yang tidak pernah berniat menjual medalinya meskipun dirinya sekeluarga sering berpuasa karena tidak ada biaya untuk makan.

Meski begitu, tenaga Suharto masih diperlukan Pemkot Surabaya. Empat kali dalam sebulan, Suharto melatih anak-anak binaan Dinas Sosial Kota Surabaya untuk menjadi atlet balap sepeda. ’’Sekarang hanya ada dua yang masih serius latihan. Mereka berdua anak jalanan. Alhamdulillah, saya sebulan mendapat bayaran Rp 800 ribu,’’ ujar pria yang rambutnya mulai dipenuhi uban karena termakan usia itu.

Dua atlet dari dinas sosial itu sudah seperti anaknya sendiri. Satu hal yang menjadi harapan Suharto adalah membuat anak-anak tersebut berprestasi. Dan memang benar, beberapa bulan lalu salah seorang atlet dari dinas sosial yang bernama Luhur Aditya Prasoja (14) mendapat peringkat kedua di nomor point race kelompok pemula di Tegal, Jawa Tengah, meski dengan keterbatasan sepeda.

’’Memang keadaannya seperti ini, diterima saja. Saya hanya takut ini jadi momok bagi atlet muda. Nanti dipikir percuma saya berprestasi,’’ keluhnya lemas.
Loading...

    Loading...